Matahari terbit di atas gurun Jazirah Arab, Abdul Muthalib
keluar menemui orang-orang, dan menceritakan kepada mereka bahwa ia akan
menggali sebuah sumur di tempat tertentu, ia menunjukkan ke tempat yang di situ
ia diberitahu oleh suara yang ada dalam mimpinya. Orang-orang Quraisy
menolaknya, Sesungguhnya tempat yang diisyaratkan oleh Abdul Muthalib terletak
di antara dua berhala dari berhala-berhala yang biasa disembah oleh masyarakat
setempat, yaitu di antara berhala yang bernama Ashaf dan NAllah. Abdul Muthalib
merasa bahwa usahanya sia-sia untuk meyakinkan kaumnya agar mengizinkannya
untuk menggali sumur. Mereka mengetahui bahwa Abdul Muthalib tidak mempunyai
sesuatu selain hanya seorang anak. Bahwasanya ia tidak memiliki anak-anak yang
dapat menolong dan memperkuatnya serta melaksanakan keinginan-keinginannya.
Pada saat itu di kawasan negeri Arab dipenuhi dengan
kabilah-kabilah yang terjalin suatu ikatan fanatisme atau kesukuan yang kuat
dan usaha untuk melindungi keluarga yang sangat menonjol. Akhirnya Abdul
Muthalib pergi dalam keadaan sedih, lalu ia berdiri di hadapan Ka'bah dan
mengungkapkan suatu nazar kepada Allah SWT. Ia berkata: "Jika aku mendapat
sepuluh anak laki-laki, dan mereka menginjak usia dewasa, sehingga mereka mampu
melindungiku saat aku menggali sumur Zamzam, maka aku akan menyembelih salah
seorang dari mereka di sisi Ka'bah sebagai bentuk korban."
Pintu langit pun terbuka untuk doanya. Belum sampai
berlangsung satu tahun, istrinya melahirkan anaknya yang kedua dan setiap tahun
ia melahirkan anak laki-laki sampai pada tahun yang kesembilan, sehingga Abdul
Muthalib mempunyai sepuluh anak laki-laki. Kemudian berlalulah zaman dan
anak-anak Abdul Muthalib menjadi besar.
Abdul Muthalib akhirnya menjadi seseorang yang memiliki
kemampuan. Kemudian Abdul Muthalib berusaha melakukan rencananya yang
diisyaratkan dalam mimpinya itu, yaitu ia bersiap-siap untuk mengorbankan salah
satu anaknya sebagai bentuk pelaksanaannya dari nazarnya. Maka dilakukanlah
undian atas sepuluh anaknya, lalu keluarlah nama anaknya yang paling kecil
yaitu Abdullah. Ketika nama anak itu keluar dalam undian, maka orang-orang yang
ada disekitarnya berusaha memberontak, mereka mengatakan bahwa mereka tidak
akan membiarkan Abdullah disembelih.
Abdullah saat itu terkenal sebagai seseorang yang bersih
dikawasan Arab, ia telah dapat menarik simpati masyarakat di sekitarnya. Ia
tidak pernah menyakiti seseorang pun. Bahkan ia tidak pernah meninggikan
suaranya lebih dari orang lain. Senyuman khas Abdullah terkenal sebagai
senyuman yang paling lembut di kawasan Jazirah Arab. Muatan ruhaninya demikian
jernih, dan hatinya yang mulia menyerupai sebuah kebun di tengah-tengah gurun
hati-hati yang keras, oleh karena itu semua manusia datang kepadanya dan
menentang usaha penyembelihannya. Para
pembesar Quraisy berkata, "Lebih baik kami menyembelih anak-anak kami
daripada ia harus disembelih, dan menjadikan anak-anak kami sebagai tebusan
baginya. Kami tidak akan menemukan seseorang pun yang lebih baik dari dia
seandainya kami menyembelihnya, pertimbangkanlah kembali masalah itu, dan
biarkan kami bertanya kepada dukun."
Abdul Muthalib tampak tidak mampu menghadapi tekanan ini,
lalu ia mempertimbangkan kembali apa yang telah ditetapkannya. Kemudian mereka
mendatangi seorang dukun. Si dukun berkata: "Berapakah taruhan yang kalian
miliki?" Mereka menjawab: "Sepuluh ekor unta." Dukun itu berkata:
"Datangkanlah sepuluh unta, lalu lakukanlah kembali undian atasnya dan
atas nama Abdullah, jika undian datang padanya, maka tambahlah sepuluh ekor
unta lagi, lalu ulangilah terus undian tersebut, demikian hingga tidak keluar
lagi nama Abdullah."
Kemudian dilakukanlah undian atas nama Abdullah dan atas
sepuluh ekor unta yang besar. Undian itu pun mengeluarkan terus nama Abdullah,
hingga Abdul Muthalib menambah sepuluh ekor unta lagi, kemudian lagi-lagi yang
keluar nama Abdullah sehingga mereka pun menambah sepuluh ekor unta lagi sampai
jumlah unta itu telah mencapai seratus ekor unta. Setelah itu, datanglah nama
unta tersebut. Maka saat itu, masyarakat demikian gembiranya sehingga
berlinangan air mata, kegembiraan dari mereka karena melihat Abdullah berhasil
diselamatkan. Kemudian disembelihlah seratus ekor unta di sisi Ka'bah, dan
mereka membiarkannya di situ sehingga korban itu tidak disentuh oleh seseorang
pun dan juga disentuh oleh binatang-binatang buas.
Abdul Muthalib sangat gembira atas keselamatan anaknya,
Abdullah. Lalu ia menetapkan untuk menikahkannya dengan gadis terbaik di
Jazirah Arab, kemudian ia keluar dengannya pada suatu hari dari Ka'bah ke rumah
Wahab, dan di sana
ia meminang untuknya Aminah binti Wahab. Kemudian Aminah binti Wahab menikah
dengan Abdullah bin Abdul Muthalib, seorang pemuda yang paling mulia dan paling
dicintai oleh orang-orang Quraisy.
Dinyalakanlah api-api di gunung-gunung Mekah, agar para
musafir dan para tamu mengetahui tempat diadakannya acara tersebut, yaitu acara
pernikahan antara Abdullah dan Aminah. Lalu disembelihlah hewan-hewan korban,
dan manusia dari kalangan orang-orang fakir bahkan binatang-binatang buas dan
burung makan darinya. Abdullah tinggal bersama istrinya dua bulan di rumah
pernikahan, hingga suatu hari ada kabar bahwa kafilah akan berangkat, lalu
Abdullah pun mengikuti kafilah tersebut dan melakukan perjalanan bersama
kafilah perdagangan Quraisy menuju Syam, itu adalah kesempatan terakhir yang
diperoleh Aminah binti Wahab bersamanya. Wajah Abdullah yang mulai tampak
berseri-seri mengucapkan selamat tinggal kepada Aminah, lalu setelah itu
bayang-bayang wajahnya tersembunyi bersama kafilah dan rnereka pun hilang. Aminah
tidak mengetahui bahwa itu adalah kesempatan terakhirnya setelah dua bulan dari
perkawinannya. Abdullah mengunjungi paman-pamannya dari kabilah bani Najar di
Madinah, dan di sana
ia meletakkan jasadnya di muka bumi, ia meninggal dunia.
Abdullah bin Abdul Muthalib kini telah meninggal. Saat itu
ia berusia dua puluh lima
tahun. Kabar kematiannya tiba-tiba tersebar dan sangat memilukan hati
orang-orang yang mendengarnya, sehingga kabar itu sampai ke istrinya. Aminah
tampak menangis tersedu-sedu dan ia tampak menyampaikan pertanyaan-pertanyaan
pada dirinya dan tidak mengetahui jawabannya, mengapa Allah SWT menebusnya
dengan seratus unta jika kemudian Dia menetapkan kematian baginya.
Tidak lama kemudian, lalu bergeraklah dirahimnya janin
dengan gerakan yang sedikit, ia tampak mulai mengetahui bahwa ia sedang hamil. Aminah
menangis dua kali, pertama ia menangis untuk dirinya sendiri dan kali ini ia
menangis untuk anak yang ditinggal mati ayahnya sebelum ia sempat dilahirkan. Aminah
tidak pernah mengetahui sebelumnya bahwa janin yang dikandungnya akan menjadi
anak yatim, ayahnya meninggal saat ia dilahirkan.
Anak yatim ini harus menanggung beban anak-anak yatim dan
orang-orang fakir serta orang-orang yang sedih di muka bumi. Ia akan menjadi
Nabi yang terakhir dan rasul-Nya kepada manusia. Ia akan menjadi rahmat yang
dihadiahkan kepada manusia dan tidak akan mengetahui makna rahmat kecuali orang
yang merasakan penderitaan dan kepahitan. Inilah anak kecil yang sebelum
dilahirkan telah menelan kesedihan. Dan berlalulah hari demi hari, lalu
hilanglah tangisan penderitaan dan mata Aminah pun telah mengering, namun
kesedihannya tampak menyerupai sebuah pohon yang turnbuh bersama kehausan.
Kemudian kesedihannya hari demi hari semakin ia rasakan
tetapi kesedihannya itu mulai tidak tampak ketika ia mendapatkan bahwa janin
yang dikandungnya tidaklah memberatkannya, sebaliknya ia merasakan betapa
ringannya janin yang dikandungnya bagaikan merpati yang berkeliling di seputar
Ka'bah, dan seandainya kesedihannya yang selalu mengitarinya, maka tidak ada
wanita yang lebih bahagia darinya dengan kehamilan yang ringan ini. Janin itu
adalah manusia yang mulia di sisi Tuhan, kemudian semakin dekatlah hari
kelahirannya. Sementara itu, pasukan Abrahahh mendekati Mekah.
Abrahahh adalah seorang penguasa Yaman, yaitu pada saat
Yaman tunduk kepada Habasyah setelah penguasa Persia diusir. Di Yaman ia
membangun suatu gereja yang menunjukkan bangunan yang menakjubkan. Abrahahh
membangunnya dengan niat agar orang-orang Arab berpaling dari Baitul Haram di
Mekah. Ia melihat betapa orang-orang Yaman tertarik dengan rumah tersebut. Dan
ketika ia tidak melihat gereja yang dibangunnya memiliki daya tarik seperti itu
dan tidak mampu menarik hati orang-orang Arab, maka ia berkeinginan kuat untuk
menghancurkan Ka'bah, sehingga orang-orang tidak menuju ke Ka'bah lagi
melainkan ke gerejanya. Demikianlah akhirnya ia menyiapkan pasukan yang besar
yang dipenuhi dengan berbagai senjata, kemudian pasukan itu menuju Ka'bah.
Pasukan Abrahahh terdiri dari kelompok gajah yang besar yang
digunakannya untuk menghancurkan Ka'bah. Gajah-gajah itu bagaikan tank-tank
yang kita gunakan saat ini. Orang-orang Arab pun mendengar rencana tersebut.
Memang orang-orang Arab saat itu terkenal sebagai penyembah berhala, meskipun
demikian mereka sangat memberikan penghargaan dan penghormatan terhadap Ka'bah,
karena mereka meyakini bahwa mereka adalah anak-anak Nabi Ibrahim as dan Nabi
Ismail as pemelihara Ka'bah.
Perjalanan pasukan tiba-tiba dihadang oleh seorang lelaki
yang mulia dari penduduk Yaman yang bernama Dunaher. Ia mengajak kaumnya dan
dari kalangan orang-orang Arab untuk memerangi Abrahahh, sehingga ada beberapa
orang yang mengikutinya. Abrahahh berhadapan dengan tentara tersebut tetapi
pasukan yang sedikit itu dapat dengan mudah dipatahkan oleh pasukan kafir yang
besar itu. Kemudian Dunaher pun kalah dan menjadi tawanan Abrahahh. Pasukan
Abrahahh tersebut juga sempat ditentang oleh Nufail bin Hubaid al-Aslami, namun
Abrahahh pun dapat mengalahkan mereka dan berhasil menawan Nufail.
Kemudian ketika Abrahahh melewati kota Taif, menghadaplah
kepadanya beberapa orang tokoh setempat, dan mereka tampak gemetar ketakutan
dan berkata kepadanya bahwa sesungguhnya 'rumah' yang ditujunya tidak berada di
tempat mereka, tetapi berada di Mekah. Hal itu mereka sampaikan dengan maksud
untuk memalingkannya dari rumah berhala mereka, di mana mereka membangun di
dalamnya berhala yang bernama Latha kemudian mereka mengutus seseorang yang
akan menunjukkan kepada Abrahahh letak Ka'bah. Ketika Abrahahh berada di antara
Taif dan Mekah, ia mengutus seorang pemimpin pasukannya sehingga ia melihat
keadaan Mekah. Di sana
ia merampas banyak harta dari kaum Quraisy dan selain mereka, dan di antara
yang dirampasnya adalah dua ratus unta milik Abdul Muthalib bin Hasyim. Saat
itu Abdul Muthalib adalah salah seorang pembesar Quraisy dan pemimpin mereka,
serta pengawas sumur Zamzam.
Kedatangan utusan Abrahahh di Mekah telah menimbulkan
gejolak pada kabilah-kabilah. Akhirnya kaum Quraisy bergerak, begitu juga kaum
Khananah. Kemudian mereka mengetahui bahwa mereka tidak memiliki kemampuan
untuk melawan Abrahahh, sehingga mereka membiarkannya, lalu tersebarlah di
Jazirah Arab berita tentang datangnya pasukan yang kuat yang sulit untuk
ditandingi. Dalam surat
yang dibawa oleh utusannya itu, Abrahahh menyampaikan bahwa ia tidak datang
untuk memerangi mereka, namun ia datang hanya untuk menghancurkan Ka'bah. Jika
mereka tidak menentangnya, maka darah mereka tidak akan ditumpahkan. Lalu
utusan itu menemui Abdul Muthalib ,
ia menceritakan tentang keinginan
Abrahahh. Abdul Muthalib berkata: "Kami tidak ingin memeranginya karena
kami tidak memiliki kekuatan. Ka'bah adalah rumah Allah SWT yang mulia dan
suci, dan rumah kekasih-Nya Ibrahim. Jika
Ia mencegahnya, maka itu adalah
rumah-Nya dan tempat suci-Nya, namun jika Ia membiarkannya, maka demi Allah
kami tidak memiliki kekuatan untuk mempertahankannya." Kemudianutusan itu
pergi bersama Abdul Mutihalib menuju Abrahahh.
Abdul Muthalib adalah seseorang yang sangat terpandang dan
sangat mulia. Ia memiliki kewibawaan dan kehormatan yang mengagumkan. Ketika
Abrahahh melihatnya, Abrahahh menampakkan penghormatan kepadanya. Abrahahh
memuliakannya dan mendudukannya di bawahnya, ia tidak suka bahwa ia duduk
bersamanya di kursi kekuasaannya. Lalu Abrahahh turun dari kursinya dan duduk
di atas sebuah permadani dan mendudukkan Abdul Muthalib di sisinya. Kemudian ia
berkata kepada penerjemahnya: "Katakan padanya apa kebutuhannya?"
Abdul Muthalib berkata: "Kebutuhanku adalah agar Abrahahh mengembalikan
dua ratus ekor unta yang diambilnya dariku" Ketika Abdul Muthalib
mengatakan demikian, wajah Abrahahh berubah, lalu ia berkata kepada
penerjemahnya: "Katakan padanya sungguh aku merasa kagum ketika
melihatnya, kemudian aku merasakan kehati-hatian saat berbicara dengannya,
apakah engkau berbicara denganku tentang dua ratus ekor unta yang telah aku
ambil, lalu engkau membiarkan rumah yang merupakan simbol agamanya dan
kakek-kakeknya, yang aku datang untuk menghancurkannya dan dia tidak
menyinggungnya sama sekali" Abdul Muthalib menjawab: "Aku adalah
pemilik unta, sedangkan pemilik rumah itu adalah Tuhan yang
melindunginya." Abrahahh berkata: "Dia tidak akan mampu melindunginya
dariku." Abdul Muthalib menjawab: "Lihat saja nanti!"
Selesailah dialog antara Abdul Muthalib dan Abrahahh. Abrahahh
pun mengembalikan unta yang telah dirampasnya. Abdul Muthalib pergi menemui
orang-orang Quraisy dan menceritakan apa yang dialaminya, dan ia memerintahkan
mereka untuk meninggalkan Mekah dan berlindung dibalik gua-gua di gunung. Akhirnya
kota Mekah
dikosongkan oleh pemiliknya. Aminah binti Wahab keluar ke gunung-gunung di
dekat kota
Mekah kemudian malaikat turun di bumi Jarzirah Arab.
Abdul Muthalib berdiri dan memegangi pintu Ka'bah dan
berdiri bersama dengan sekelompok orang-orang Quraisy, mereka berdoa kepada
Allah SWT dan meminta perlindungan-Nya, agar para malaikat memerintahkan
gajah-gajah tidak melangkahkan kakinya sehingga gajah itu pun tetap di
tempatnya dan menaati perintah para malaikat, kemudian gajah-gajah itu menerima
pukulan yang dahsyat namun gajah-gajah itu tetap berdiam di tempatnya,
gajah-gajah itu tampak gemetar dan berteriak tetapi lagi-lagi gajah-gajah itu
menolak untuk bergerak dan tidak bergerak selangkah pun. Abrahahh bertanya:
"Mengapa pasukan tidak bergerak?" Kemudian dikatakan kepadanya bahwa
gajah-gajah menolak untuk bergerak. Abrahah mengangkat cemetinya. Dengan muka
emosi, ia ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi dengan gajah-gajahnya.
Matahari saat itu bersinar dan ia duduk di kemahnya. Ketika
ia keluar, matahari bersembunyi di balik segerombolan burung. Abrahah
mengangkat pandangannya ke arah langit. Mula-mula ia membayangkan bahwa ia
melihat sekawanan awan yang hitam. Kemudian ia mengamat-amati awan itu. Dan
ternyata ia bukan awan biasa. Itu adalah sekelompok burung yang menutupi cahaya
matahari dan menyerupai awan yang tebal. Burung ababil, burung yang banyak.
Gajah-gajah semakin berteriak dengan kencang dan tampak
ketakutan. Dan rasa takut itu kini menghinggapi seluruh pasukan. Abrahah
berteriak di tengah-tengah pasukannya agar gajah diusahakan untuk maju secara
paksa. Kemudian terbukalah salah satu jendela dari jendela al-Jahim, dan
burung-burung itu menghujani pasukan dengan batu dari Sijil, yaitu batu yang
sama yang pernah dihujankan kepada kaum Nabi Luth. Batu itu menyerupai bom-bom
atom yang digunakan saat ini.
Jika Anda membaca buku-buku kuno, maka Anda akan mengetahui
bagaimana peristiwa yang menimpa pasukan Abrahah. Anda akan membayangkan bahwa
Anda berada di hadapan suatu kekuatan yang menghancurkan yang tidak diketahui
asal muasalnya. Dunia mengenali sebagian darinya setelah empat belas abad dari
peristiwa tersebut. Buku-buku itu mengatakan bahwa pasukan itu dihancurkan
dengan penghancuran yang dahsyat.
"Apakah kamu tidak memperhatikan bagimana Tuhanmu telah
bertindak terhadap tentara gajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya
mereka (untuk menghancurkan Ka 'bah) itu sia-sia? Dan Dia mengirimkan kepada
mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu
(berasal) dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadihan mereka seperti daun
yang dimakan (ulat)." (QS. al-Fil: 1-5)
Pasukan gajah yang ingin memporak-porandakan Mekah
dikalahkan. Kemudian mereka dihancurkan dan Tuhan pemilik Ka'bah berhasil melindungi
rumah suci-Nya. Perlindungan tersebut bukan sebagai penghormatan bagi orang
yang tinggal di rumah itu dan bukan sebagai bentuk pengkabulan doa kaum yang
menyembah berhala yang memenuhi tempat itu. Allah SWT sebagai Pelindung Ka'bah
memeliharanya karena adanya hikmah yang tinggi; Allah SWT menginginkan sesuatu
bagi rumah itu; Allah SWT ingin melindunginya agar tempat itu menjadi tempat
yang damai bagi manusia dan supaya tempat itu menjadi pusat dari akidah yang
baru dan menjadi tanah bebas yang aman, yang tidak dikuasai oleh seseorang pun
dari luar dan juga tidak didominasi oleh pemerintahan asing yang akan membatasi
dakwah. Yang demikian itu karena di sana
terdapat rumah dari rumah-rumah di Mekah yang lahir di sana seorang anak di mana ibunya bernama
Aminah binti Wahab dan ayahnya adalah Abdullah, salah seorang tokoh Arab. Anak
itu belum dilahirkan dan belum dapat tugas kenabian dan ia belum memikul Islam
di atas pundaknya dan belum menjadi rahmat bagi alam semesta. Kemudian
datanglah Abrahah yang ingin menghancurkan semua ini tanpa ia mengetahui semua
rahasia ini.
Tragedi yang menimpa Abrahah adalah karena bahwa ia berusaha
menentang kehendak Ilahi sehingga kehendak Ilahi itu menghancurkannya dengan
mukjizat yang mengagumkan. Datanglah banyak burung dengan membawa batu-batuan
yang tidak didengar suaranya. Kemudian burung-burung melemparkan batu-batu itu
kepada Abrahah beserta tentaranya. Semua ini berdasarkan rencana Ilahi terhadap
rumah-Nya dan agama-Nya serta nabi-Nya sebelum orang mengetahui bahwa Nabi
Islam telah bersiap-siap untuk meninggalkan tempat tidurnya di perut ibunya dan
mulai memasuki kehidupan yang keras di muka bumi.
Di tengah-tengah kegembiraan Mekah karena keselamatan
penghuninya dan selamatnya Ka'bah, Aminah binti Wahab bermimpi: di tengah suatu
malam ia menyaksikan dirinya berdiri sendirian di tengah-tengah gurun, dan
telah keluar dari dirinya suatu cahaya besar yang menyinari timur dan barat dan
terbentang hingga langit. Aminah tiba-tiba terbangun dari tidurnya namun ia
tidak mengetahui tafsir dari mimpinya.
Berlalulah hari demi hari dari tahun gajah. Dan pada waktu
sahur dari malam Senin hari keduabelas dari bulan Rabiul Awal, Aminah
melahirkan seorang anak kecil yang yatim yang bernama Muhammad bin Abdillah bin
Abdul Muthalib, seorang cucu dari Ismail bin Ibrahim bin Adam.
Sebelum ia dilahirkan, dunia mati karena kehausan padanya. Kehausan
dunia sangat besar kepada cinta, rahmat, dan keadilan. Sekarang teiah berlalu
600 tahun dari kelahiran al-Masih dan orang-orang Masehi telah menjauhi ajaran
cinta, bahkan keyakinan-keyakinan berhalaisme telah meresap kepada sebagian
kelompok mereka dan kejernihan ajaran tauhid telah ternodai. Sedangkan
orang-orang Yahudi telah meninggalkan wasiat-wasiat Musa dan mereka kembali
menyembah lembu yang terbuat dari emas. Dan setiap orang dari mereka lebih
memilih untuk memiliki lembu emas yang khusus. Demikianlah, berhalaisme telah
menyerang di bumi. Bumi dipenuhi oleh kegelapan. Akal disingkirkan dan Tuhan
diiupakan dan mereka menyerahkan diri mereka kepada pembohong.
Ketika jantung dunia telah terkena kekeringan, maka
memancarlah dari timur suatu mata air keimanan yang jernih yang menjadi puas
dengannya separo dunia. Dan mukjizat besar terjadi ketika mata air ini
mengeluarkan air yang jernih dari jantung gurun yang paling besar ketandusannya
di dunia, yaitu gurun jazirah Arab. Berkenaan dengan penggambaran masa
tersebut, dalam hadis yang mulia dikatakan: "Sesungguhnya Allah melihat
penduduk bumi lalu Dia murka kepada mereka, baik orang-orang Arab maupun orang-orang
Ajam kecuali sebagian kecil dari Ahlulkitab."
Di tenda yang kasar, lahirlah seorang anak yatim yang
kemudian bertanggung jawab untuk memberikan minum kepada dunia yang haus pada
cinta, keadilan, kebebasan, serta kebenaran. Sementara itu, beberapa langkah
dari tempat kelahirannya terdapat berhala-berhala yang memenuhi Baitul 'Athiq
dan sekitar Ka'bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail agar menjadi
rumah Allah SWT dan Dia disembah di dalamnya dan manusia merasa tenteram di
dalamnya. Di rumah yang kuno ini—yang dibangun sebelumnya oleh Adam—dipenuhi
patung-patung tuhan yang terbuat dari batu dan kayu. Ini menunjukkan betapa
akal orang-orang Arab saat itu mengalami titik terendah.
Sementara itu nun jauh di sana ,
tepatnya di Yatsrib atau Madinah dipenuhi oleh orang-orang Yahudi yang mereka
datang di sana
karena melarikan diri dari penindasan orang-orang Romawi. Mereka tinggal di
situ bagaikan srigala-srigala di atas tanah yang tersubur di mana mereka
melakukan monopoli dalam perdagangan. Mereka membagun kejayaan mereka dengan
memanfaatkan orang-orang Arab dan keheranan mereka terhadap diri mereka
sendiri.
Sedangkan di tempat yang jauh dari Mekah, Romawi menyerupai
burung rajawali yang lemah, namun belum sampai kehilangan kekuatannya. Orang-orang
Romawi sangat menyanjung kekuatan. Sedangkan di belahan timur dari utara negeri
Arab, orang-orang Persia
menyembah api dan air. Api tetap menyala di tempat peribadatan mereka di mana
manusia rukuk untuknya. Dan di sana
terdapat danau Sawah yang dianggap suci oleh mereka.
Sementara itu, Kisra, raja kaum Persia duduk di atas singgasananya
dan memberikan keputusan terhadap manusia. Keputusan Kisra selalu didengar dan
dilaksanakan. Tidak ada seorang pun yang berani menentangnya dan menolaknya. Orang-orang Persia
berhasil mengalahkan Romawi dan Yunani, sehingga mereka menjadi kekuatan yang
dahsyat di muka bumi. Meskipun mereka memiliki kekuatan yang sangat luar biasa,
namun penyembahan api jelas-jelas menunjukkan betapa bodohnya mereka dan betapa
kekuatan mereka diliputi oleh kebodohan sehingga akal mereka tercabut dan
mereka terhalangi untuk mencapai kebenaran. Alhasil, kegelapan semakin
meningkat di setiap penjuru bumi dan kehidupan berubah menjadi hutan yang lebat
di mana di dalamnya seorang yang kuat akan menyingkirkan seorang yang lemah dan
di dalamnya yang menang adalah kebatilan.
Di tengah-tengah suasana yang demikian kelam, lahirlah
seorang anak di tenda Mekah. Ketika anak tersebut lahir, maka padamlah api yang
disembah oleh kaum Persia
dan keringlah danau Sawah yang disucikan oleh manusia, bahkan robohlah empat
belas loteng dari istana Kisra. Dan setan merasa bahwa penderitaan yang besar
telah merobek-robek hatinya. Ini semua sebagai simbol dimulainya kehancuran
kejahatan atau keburukan di muka bumi dan terbebasnya akal manusia dari
penyembahan terhadap sesama manusia atau terhadap hal-hal yang bersifat
khurafat. Manusia diajak hanya untuk menyembah kepada Allah SWT. Kelahiran
Rasul sebagai bukti hilangnya kelaliman, sebagaimana kelahiran Nabi Musa yang
menunjukkan kebebasan Bani Israil dari kelaliman Fir'aun.
Ajaran Muhammad bin Abdillah merupakan ajaran revolusi yang
paling meyakinkan dan yang paling penting yang pernah dikenal di dunia; ajaran
yang bertugas untuk menyelamatkan dan membebaskan akal dan materi. Tentara
Al-Qur'an adalah tentara yang paling adil dan paling berani untuk menghancurkan
orang-orang yang lalim. Kita akan melihat dalam sejarah Nabi bahwa
kejadian-kejadian luar biasa telah mengelilingi Ka'bah sebelum kelahirannya. Kemudian
terjadilah peristiwa luar biasa setelah kelahirannya di mana terjadilah
peristiwa pembelahan dada pada saat beliau masih kecil, begitu juga beliau
dinaungi oleh awan di waktu kecil, bahkan beliau terkenal pada saat masih kecil
dengan kecenderungan untuk meninggalkan permainan-permainan yang biasa
dimainkan oleh anak-anak kecil seusia beliau. Allah SWT memberikan penjagaan
khusus kepadanya sehingga Jibril as turun kepadanya dengan membawa wahyu.
Selanjutnya, mukjizatnya yang pertama adalah mukjizat yang
terdapat pada kepribadiannya dan pemikiran-pemikirannya. Itulah yang menjadi
mukjizatnya yang terbesar setelah Al-Qur'an; itu adalah bangunan ruhani yang
tinggi di mana beliau mampu menahan penderitaan di jalan Allah SWT. Dan dalam
menegakkan kebenaran, beliau memikul berbagai macam rintangan. Beliau
melaksanakan amanat yang diembannya secara sempuma dan sebaik-baik mungkin. Hal
yang indah yang dikatakan tentang mukjizat Nabi setelah diutusnya beliau adalah
bahwa beliau tidak mempunyai mukjizat selain usaha membebaskan akal: tanpa
memiliki kekuatan luar biasa selain membebaskan pikiran, tanpa dalil selain
kalimat Allah SWT.
Sedangkan Isa bin Maryam telah berdakwah dan mengajak
manusia untuk menciptakan kesamaan, persaudaraan, dan cinta kasih di antara
mereka, namun Muhammad saw diberi karunia untuk mewujudkan persamaan,
persaudaraan, dan cinta kasih di antara orang-orang mukmin di tengah-tengah
kehidupannya dan setelah kehidupannya.
Ketika Nabi Isa mampu menghidupkan orang-orang yang mati dan
mengeluarkan mereka dari kuburan, Muhammad bin Abdillah menghidupkan
orang-orang hidup dari kematian mereka yang tidak pernah mereka sadari. Itu
adalah bentuk kematian yang paling berat. Beliau juga mengeluarkan rnereka dari
kegelapan dan kebodohan menuju cahaya ilmu, dan dari belenggu syirik dan
kekufuran menuju dunia tauhid.
Sulaiman sebagai seorang Nabi dan raja mampu memperkerjakan
jin untuk mengabdi padanya, bahkan mereka mampu terbang beribu-ribu mil untuk
menghadirkan singgasana musuh-musuhnya agar mereka semua tercengang terhadap
kemampuannya, sehingga mereka masuk Islam. Namun Muhammad saw justru mengabdi
kepada Islam hanya sebagai seorang tentara yang sederhana. Beliau mengetahui
bahwa ketika beliau lalai sesaat saja dari dakwah di jalan Allah SWT, maka
kesempatannya dalam menyebarkan agama Islam akan hilang.
Di saat terjadi peristiwa besar dalam peperangan, tiba-tiba
azan salat dikumandangkan, sehingga para pasukan yang berperang mengerjakan
salat. Tidak ada malaikat yang turun untuk melindungi mereka ketika salat atau
mencegah datangnya anak-anak panah dari punggung mereka saat sujud. Karena itu,
hendaklah para pasukan melindungi dirinya sendiri. Para
pasukan mukmin berusaha salat secara bergantian: sebagian mereka salat dan
sebagian mereka bertugas untuk menjaga.
Allah SWT berfirman:
"Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka
(sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka, maka
hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) besertamu dan menyandang
senjata, kemudian apabila mereka sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka
hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah
datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah
mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang
kafir ingin agar kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka
menyerbu kamu dengan sekaligus."(QS. an-Nisa': 102)
Selesailah masalah itu dan tidak adak malaikat yang turun
untuk melindunginya dan menolongnya. Ini adalah masa kematangan akal dan masa
keletihan para nabi dan orang-orang mukmin. Dan sesuai kadar keletihan mereka
dalam menyampaikan ajaran Islam, mereka pun akan mendapatkan balasan yang
besar.
Pada masa para nabi sebelum Nabi Muhammad saw, mereka
menghadirkan mukjizat-mukjizat kepada kaum mereka saat memulai dakwah, sehingga
kaum tersebut mempercayai apa saja yang mereka bawa, sedangkan Nabi Muhammad
bin Abdillah tidak menghadirkan kepada kaumnya selain dirinya dan ketulusannya.
Allah SWT telah memutuskan untuk melindungi Musa dan
memerintahkannya untuk mengangkat gunung di atas kaumnya hingga mereka beriman
kepada Taurat, atau untuk menjatuhkan gunung tersebut di atas mereka. Ketika
mengetahui hal yang Demikian itu, orang-orang Yahudi sujud dengan meletakkan
pipi mereka di atas tanah dan mereka mengamati bukit batu yang berada di atas
kepala mereka yang diangkat oleh tangan yang tersembunyi. Sedangkan Nabi Muhammad
bin Abdillah tak pernah memaksa seseorang pun. Berimanlah beberapa orang
kepadanya dan puaslah beberapa orang kepadanya dan matilah bersamanya
orang-orang yang mati dalam keadaan puas. Beliau tidak membawa pedang kecuali
saat panah yang beracun mendekati jantung Islam dan mengancamnya.
Dakwah para nabi menuntut terjadinya mukjizat demi mukjizat.
Ini karena masa kekanak-kanakan manusia serta kelemahan akal dan hilangnya
panca indera menuntut rahmat Allah SWT untuk mendatangkan mukjizat yang sesuai
dengan masa turunnya mukjizat tersebut dan budaya masyarakat setempat. Adalah
hal yang maklum bahwa di tengah-tengah penduduk Mekah saat itu tidak terdapat
orang-orang yang cerdas atau orang-orang yang bijak yang mampu menyerap
kata-kata yang baik. Dan kesulitan yang dihadapi oleh Islam adalah bahwa ia
tidak diturankan pada masa ini saja, tetapi Islam diturunkan untuk setiap masa.
Allah SWT mengetahui bahwa manusia telah memasuki masa kematangan berpikir yang
mengagumkan, maka hikmah-Nya menuntut bahwa pernyataan yang pertama kali
disebutkan dalam risalah-Nya adalah "iqra'" (bacalah). Di samping
itu, risalah tersebut mengandung pemikiran yang universal, sistem yang
membangun, dan hukum yang mempesona, serta kebebasan yang diidamkan, dan
manusia yang sempurna.
Adalah tidak mengurangi kehormatan para nabi sebelum Nabi
Muhammad saw di mana mereka tidak diutus di masa-masa kematangan pemikiran,
tetapi yang menambah kehormatan Nabi Muhammad saw bahwa beliau diutus di
tengah-tengah masa kematangan berpikir, dan beliau diutus sebelum datangnya
masa ini. Beliau memikul berbagai lipat cobaan yang pernah dipikul oleh para
nabi; beliau berdakwah dengan menanggung berbagai lipat godaan dan cobaan;
beliau mengalami siksaan yang pernah dialami oleh semua para nabi; beliau mencintai
Allah SWT sebagaimana para nabi mencintai-Nya. Allah SWT memuliakannya ketika
beliau mengimami mereka di saat salat pada saat beliau melakukan Isra' dan
Mi'raj. Meskipun demikian, ketika beliau keluar pada suatu hari menemui
sahabat-sahabatnya dan mendapati mereka mengutamakan para nabi dan
mendahulukannya atas mereka, maka beliau justru menampakkan kemarahan dan
wajahnya berubah. Beliau berkata: "Janganlah kalian mengutamakan aku atas
Yunus bin Mata."
Melalui pernyataan itu, beliau berusaha meletakkan suatu
pondasi pemikiran yang harus dilalui oleh kaum Muslim di mana para nabi memang
memiliki derajat tertentu di sisi Allah SWT. Boleh jadi ada nabi yang lebih
afdal atau yang lebih mulia daripada yang lain. Siapakah yang menetapkan hal
itu? Tidak ada seorang pun selain Allah SWT. Ada pun kaum Muslim hendaklah mereka berhenti
pada batas tertentu yang seharusnya mereka berikan berkaitan dengan sopan
santun terhadap para nabi. Selama Allah SWT menyampaikan shalawat kepada rasul
sebagai bentuk penghormatan dan memerintahkan mereka untuk menyampaikan
shalawat kepadanya, dan selama Rasulullah seperti nabi-nabi yang lain, maka
hendaklah mereka juga bershalawat kepada semua nabi tanpa perbedaan, meskipun
pada bentuk shalawat itu sendiri.
Sementara itu, bayi yang mungil itu yang lahir di Mekah
bergerak setelah tahun gajah. Kemudian berita tersebar di sana sini dan Sampailah ke telinga kakeknya
bahwa cucunya telah dilahirkan. Abdul Muthalib segera menuju ke tempat itu dan
membawa cucunya yang yatim lalu berkeliling dengannya di Ka'bah sambil
memikirkan namanya. Abdul Muthalib tidak merasa terpukau dengan nama-nama yang
mulai beredar di benaknya. Ia tampak bingung menentukan nama yang paling tepat
buat cucunya, bahkan kebingungannya itu berlanjut sampai enam hari, sehingga
sang Nabi disunat. Ketika malam telah menyelimuti kawasan Mekah, datanglah
kepadanya suara yang sama yang dulu pernah dilihatnya dan didengarnya yang
memerintahkannya untuk menggali zamzam. Di tengah-tengah tidurnya, suara itu
membisikkan kepadanya bahwa nama cucunya berasal dari al-Ham, yang berarti
Muhammad atau Ahmad.
Orang-orang Quraisy bertanya kepada Abdul Muthalib:
"Nama apa yang engkau berikan kepada cucumu?" Abdul Muthalib menjawab
sambil mengingat bisikan suara yang didengarnya saat mimpi,
"Muhammad." Nama tersebut sebenamya tidak umum di kalangan
orang-orang Jahilliyah. Mereka bertanya, "Mengapa Abdul Muthalib tidak
memakai narna-nama kakek-kakeknya dan nama-nama yang biasa dipakai di kalangan
mereka." Abdul Muthalib menjawab: "Aku ingin Allah SWT memujinya di
langit dan manusia memujinya di bumi."
Kami tidak mengetahui dorongan apa yang mendikte Abdul
Muthalib untuk menyatakan kalimat tersebut. Apakah kalimat itu bersumber dari
realitas kebanggaan orang-orang Arab yang populer atau berasal dari realitas
kebanggaan tradisional? Atau, apakah berangkat dari realitas kegembiraan yang
dalam dengan kelahiran si cucu, ataukah kalimat itu bersumber dari suasana
ruhani yang jernih dan bisikan alam gaib? Tentu kami tidak bisa menjawab. Yang
dapat kami ketahui adalah bahwa seseorang tidak akan layak menyandang predikat
manusia yang dipuji di bumi dan dipuji oleh Allah SWT di langit seperti
predikat yang disandang oleh Muhammad bin Abdillah.
Nabi Muhammad saw muncul ke alam wujud dalam keadaan yatim.
Beliau ditinggalkan oleh ayahnya saat beliau masih janin di dalam perut ibunya.
Allah SWT berfirman:
"Bukankah
Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?" (QS.
adh-Dhuha: 6)
Allah SWT
melindunginya. Orang-orang sufi mengatakan bahwa sebab-sebab kemanusiaan
seperti adanya kakeknya Abdul Muthalib dan bagaimana ia mengasuhnya dan
melindunginya tidak lain hanya bentuk lahiriah yang tidak begitu penting,
sedangkan bentuk batiniah yang sebenarnya adalah kita berada di hadapan manusia
yang dilindungi dan diasuh oleh Tuhannya sejak masih kecil. Allah SWT
mendidiknya saat beliau masih kecil, dan mengujinya dengan keyatiman saat
beliau masih janin serta mengujinya dengan kelaparan sejak masih kecil, dan
dewasa dengan kematian si ibu, saat beliau masih kecil dengan keterasingan di
tengah-tengah keramaian, dan dengan terjaga di tengah-tengah tidur serta dengan
penderitaan demi penderitaan. Allah SWT telah menyiapkannya sejak usia dini
untuk memikul beban risalah terakhir.
Selanjutnya,
ibunya seringkali memeluknya lebih dari sebelumnya. Ia melihat bahwa banyak
dari wanita-wanita yang menyusui tidak berkenan untuk mengasuhnya. Adalah sudah
menjadi tradisi yang berkembang di Mekah di mana keluarga-keluarga yang mulia
mengirim anaknya ke kawasan dusun agar anak tersebut menyerap dan menghirup
udara segar serta memperoleh mainan yang memadai. Dan biasanya wanita-wanita
yang menyusui anak-anak lebih tertarik menyusui anak-anak dari orang-orang
kaya. Namun ketika pemimpin manusia seorang yang fakir, maka wanita-wanita yang
biasa menyusui tidak berminat kepadanya.
Marilah kita
telusuri bagaimana Halimah binti Abi Duaib menceritakan kisahnya bersama anak
kecil yang disusuinya: "Saat itu terjadi musim tandus dan kami tidak
memiliki sesuatu sehingga aku dan suamiku mengalami kemiskinan yang luar biasa.
Lalu kami menetapkan keluar ke Mekah dan menemani wanita-wanita dari Bani
Sa'ad. Kami semua mencari anak-anak yang masih menvusu agar orang tua mereka
dapat membantu kami untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Binatang yang aku
tunggangi sangat lemah dan sangat kurus yang itu semua disebabkan oleh
kekurangan makanan. Bahkan kami khawatir kalau-kalau ia berhenti di tengah
perjalanan dan mati. Dan kami tidak tidur semalaman karena melihat kondisi anak
kecil yang bersama kami. Ia menangis karena tidak menemukan makanan yang dapat
dimakannya. Ia menangis karena kelaparan dan tidak mendapat air susu, baik dari
air susuku maupun air susu unta yang dibawa oleh suamiku, sehingga kami tidak
dapat memuaskan dahaganya. Di tengah-tengah malam, aku merasakan keputusasaan.
Aku bertanya-tanya bagaimana aku dapat melakukan sesuatu dalam keadaan yang
demikian.
Akhirnya, kami
sampai di Mekah. Sementara itu, wanita-wanita yang ingin mencari anak-anak yang
dapat mereka susui telah mendahului kami. Mereka mengambil anak-anak kecil yang
mereka sukai, kecuali satu anak, yaitu Muhammad di mana ayahnya telah meninggal
dan ia berasal dari keluarga yang miskin meskipun sebenarnya kedudukannya
sangat mulia di antara tokoh-tokoh Quraisy. Oleh karena itu, wanita-wanita
enggan untuk mengasuhnya. Namun aku dan suamiku tidak sepaham dengan mereka
karena aku tidak peduli dengan keyatiman dan kcfakirannya. Kemudian aku malu
untuk kembali dan tidak mengambil bayi yang dapat aku susui kemudian. Di
samping itu, aku malu jika mendapat cercaan dari wanita-wanita itu. Lalu aku
merasakan adanya kasih sayang yang memenuhi hatiku terhadap anak kecil yang
tampan itu yang akan diganggu oleh udara yang kotor."
Kisah tersebut
mengatakan bahwa saat anak-anak kecil mendapatkan wanita-wanita yang
menyusuinya, maka Muhammad bin Abdillah sedang tidur dalam keadaan lapar di
ranjangnya yang kasar, tanpa disusui oleh siapa pun. Suatu hikmah yang tinggi
berkehendak agar bayi yang masih menyusui itu menghadapi dunia dalam keadaan
yatim dan dalam keadaan kelaparan agar ia dapat merasakan penderitaan anak-anak
yatim dan orang-orang yang lapar sebelum ia menyelamatkan mereka.
Halimah
mengatakan bahwa ia meyakinkan suaminya bahwa ia merasakan keinginan yang kuat
untuk mengambil anak yatim ini, sehingga suaminya menyetujuinya. Halimah tidak
mengetahui rahasia keinginannya yang samar agar ia kembali untuk mengambil anak
yatirn yang masih menyusu ini. Ia tidak mengetahui bahwa Allah SWT telah
menanamkan rasa cinta kepada anak kecil itu dalam hatinya seperti Allah SWT
menanamkan cinta kepada Musa pada hati isteri Fir'aun. Jika Musa menolak
wanita-wanita lain untuk menyusuinya kecuali ibunya setelah Allah SWT
mencegahnya dari susuan wanita-wanita lain agar ibunya merasa bahagia dan tidak
bersedih, maka Muhammad bin Abdillah—seorang anak kecil yang masih menyusu dan
mulia—-justru ditolak oleh wanita-wanita yang menyusui, sedangkan ia sendiri
tidak pernah menolak seseorang pun.
Halimah kembali
kepadanya dan ia memberitahu bahwa ia akan mengasuhnya. Nabi Muhammad saw
adalah seorang yang mulia. Halimah meletakkan tangannya di dadanya, sehingga
anak kecil itu tertawa. Halimah mencium di antara kedua matanya. la
meletakkannya di kamarnya. Halimah mengetahui bahwa kedua air susunya telah
kering, namun tiba-tiba air susunya memancar dengan keras sebagai bentuk kasih
sayang dan tanda kebesaran dari Allah SWT. Kini Halimah pun dapat menyusuinya.
Apakah itu merupakan hikmah yang tinggi di mana anak kecil tersebut merasa
cukup dengan sesuatu yang sedikit? Ataukah anak kecil itu sudah dapat mendidik
dirinya untuk zuhud dan qanaah sebelum ia mendidik orang-orang dewasa tentang
pengorbanan dan kesatriaan?
Halimah kembali
ke gurun Bani Sa'ad dan ia membawa Muhammad bin Abdillah. Belum lama ia
menyaksikan tanahnya yang tandus sehingga tiba-tiba kebaikan dunia terbuka dan
mekar di hadapanya, di mana bumi dipenuhi dengan kehijau-hijauan setelah
mengalami masa tandus. Pohon-pohon berbuah dan buah kurma tampak berseri-seri
setelah sebelumnya layu, bahkan susu-susu binatang pun mulai tampak banyak. Allah
SWT memberikan berkah-Nya kepada tempat tersebut. Halimah mengetahui bahwa
kabaikan ini telah datang bersama kedatangan anak kecil yang diberkahi,
sehingga cintanya kepada anak itu semakin bertambah. Bahkan suaminya pun
menjadi tawanan cinta yang lain kepada Muhammad saw.
Pada suatu hari
ia berkata kepada isterinya: "Apakah engkau mengetahui wahai Halimah bahwa
engkau telah mengambil seorang anak yang mulia?" Halimah berkata:
"Anak kecil itu tidak menangis dan tidak berteriak kecuali ketika ia
telanjang." Ketika anak kecil itu gelisah di tengah malam dan tidak tidur,
maka Halimah membawanya keluar dari kemah dan ia berhenti bersamanya di bawah
sinar bintang. Saat itu anak itu tampak bergembira ketika menyaksikan langit.
Setelah kedua matanya terpuaskan oleh pandangan ke arah langit, ia pun mulai
tidur.
Ketika anak itu
mencapai tahun yang kedua, maka ia telah disapih, sehingga ibunya ingin
mengambilnya, tetapi Halimah tidak kuat untuk menahan perpisahan ini. Halimah
menjatuhkan dirinya di hadapan kedua kaki sang ibu dan ia mulai menciuminya dan
ia meminta agar membiarkannya bersama anaknya sehingga anak itu benar-benar kuat
dan dapat kembali menghirup udara segar gurun. Akhirnya, Rasulullah saw tinggal
di tempat Bani Sa'ad sampai lima tahun. Dan pada masa lima tahun ini terjadi
peristiwa penting yang terkenal dengan peristiwa pembelahan dada. Kehendak
Ilahi telah menetapkan kepada Ruhul Amin, yaitu Jibril untuk menemui Muhammad
bin Abdillah dan membelah dadanya dengan perintah Ilahi serta menyuci hatinya
dengan rahmat dan mengeringkannya dengan cahaya dan mengeluarkan bagian dunia
darinya.
Seperti biasanya
Rasulullah saw keluar pada suatu hari bersama saudara susuannya dengan
menunggangi sekawanan domba menuju tempat pengembalaan. Di tengah hari,
saudaranya berlari-lari dalam keadaan takut dan menangis sambil berteriak bahwa
Muhammad telah terbunuh. Muhammad diambil oleh dua orang laki-laki yang memakai
baju yang putih lalu kedua orang itu menelentangkannya dan membelah dadanya.
Mendengar hal
itu, Halimah sangat kaget dan terpukul. Ia segera pergi sambil berlari mencari
Muhammad dan diikuti oleh suaminya yang mengikuti petunjuk anak kecil dari
saudara Muhammad. Akhirnya, mereka menemukan Muhammad sedang duduk di atas
tanah di mana wajahnya tampak pucat dan kedua matanya menyala.
Halimah dan
suaminya mencium dengan lembut dan mulai menampakkan kasih sayangnya. Kemudian
mereka bertanya, "apa yang terjadi?" Muhammad menjawab: "Ketika
aku memperhatikan domba-domba yang sedang bermain aku dikagetkan dengan
kedatangan dua orang yang memakai pakaian yang putih. Mula-mula aku menyangka
bahwa mereka adalah burung yang besar, namun ternyata aku salah. Mereka adalah
dua orang yang tidak aku kenal yang memakai pakaian warna putih. Salah seorang
dari mereka berkata kepada temannya dengan menunjuk ke arahku, "Apakah ini
anaknya?" Yang lain menjawab, "benar." Aku merasakan ketakutan
yang luar biasa. Lalu mereka mengambilku dan menidurkan aku serta membelah
dadaku dan mereka mengambil sesuatu darinya hingga mereka mendapatinya dan
membuangnya jauh-jauh. Setelah itu, mereka bersembunyi laksana bayangan."
Hadis tersebut
diriwayatkan oleh Anas dan juga diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad. Para
mufasir berbeda pendapat tentang simbolisme yang dalam ini. Sebagaian besar
ulama menakwilkan peristiwa tersebut. Pakar-pakar klasik, seperti Qurthubi
berpendapat bahwa peristiwa itu diisyaratkan oleh firman-Nya: "Bukankah
Kami telah melapangkan untukmu dadamu?. " (QS. Alam Nasyrah: 1)
Sedangkan
tokoh-tokoh hadis, seperti Ghazali berpendapat bahwa manusia istimewa seperti
Muhammad saw tidak mungkin terlepas dari bimbingan Ilahi dan tidak mungkin
terkena waswas sekecil apa pun yang biasa menimpa manusia biasa. Jika suatu
kejahatan menjadi suatu gelombang yang memenuhi cakrawala, maka di sana
terdapat hati yang segera memungutnya dan terpengaruh dengannya, namun hati
para nabi dengan adanya bimbingan Allah SWT tidak akan terpanggil dan tidak
terkena arus kejahatan tersebut.
Dengan demikian,
usaha para nabi terfokus pada peningkatan kemajuan atau ketinggian, bukan
memerangi kerendahan. Diriwayatkan oleh Abdillah bin Mas'ud bahwa Rasulullah
saw bersabda: "Tidak ada seseorang di antara kalian kecuali ia diawasi
oleh temannya dari kalangan jin dan temannya dan dari kalangan malaikat." Para
sahabat berkata: "Apakah hal itu juga berlaku kepadamu wahai
Rasulullah?" Beliau menjawab: "Ya, tetapi Allah SWT membantuku,
sehingga ia berserah diri dan tidak memerintahkan kepadaku kecuali dalam
kebaikan."
Begitulah sikap
orang-orang yang dahulu dan para ahli hadis berkaitan dengan peristiwa
pembelahan dada. Kami kira bahwa kejadian yang luar biasa tersebut berhubungan
dengan persiapan Nabi untuk melalui Isra' dan Mi'raj. Ia merupakan perjalanan
di mana Rasulullah saw akan menebus alam angkasa dan akan mencapai alam langit.
Kemudian beliau akan melampaui alam ini, sehingga sampai di Sidratul Muntaha
yang di sana terdapat Janatul Ma'wah.
Pandangan
tersebut kembali kepada pendapat kami yang mengatakan bahwa peristiwa
pembelahan dada berulang lebih dari sekali saat Rasul saw mencapai usia lima
puluh tahun. Dan peristiwa pembelahan dada terjadi kedua kalinya pada malam
Isra' dan Mi'raj.
Bukhari
meriwayatkan dari Malik bin Sh'asha'a bahwa Rasulullah saw menceritakan kepada
mereka peristiwa malam Isra' di mana beliau bersabda: "Ketika aku berada
di Hathim—atau beliau berkata di Hijr—saat aku dalam keadaan antara tidur dan
bangun, maka seorang datang kepadaku lalu ia membelah antara ini dan ini. Yaitu
antara kerongkongan dan perutnya. Beliau melanjutkan: Lalu ia mengeluarkan
hatiku dan membawa mangkok dari emas yang penuh dengan keimanan lalu ia menyuci
hatiku. Kemudian diulanginya."
Kami kira bahwa
pembelahan dada merupakan bentuk simbolis yang menunjukkan kesucian Rasul saw
dan sebagai bentuk penyiapannya untuk melalui Isra' dan Mi'raj. Itu merupakan
pemberitahuan dari Ilahi bahwa anak ini akan mencapai suatu kedudukan yang
belum pernah dicapai oleh manusia dan tidak akan dicapai manusia sesudahnya. Setelah
peritiwa pembelahan dada, berubahlah kehidupan anak kecil itu di mana sebagian
besar waktunya digunakan untuk merenung dan menyendiri. Dari roman wajahnya
tampak keseriusan yang biasanya menghiasi wajah orang-orang dewasa.
Berlalulah hari
demi hari, tahun demi tahun dan Selesailah masa menetapnya bersama Halimah di
dusun Bani Sa'ad. Beliau sangat terpengaruh dan sangat terkesan dengan keadaan
di sana. Diriwayatkan bahwa beliau pemah mengingat masa kecilnya di Bani Sa'ad
dan beliau membanggakannya. Beliau menyebutkan pengorbanan mereka dan sikap
mereka yang baik. Beliau berkata: "Aku termasuk dari Bani Sa'ad, tanpa
bermaksud menyombongkan diri. Jika mereka berhadapan atau menyaksikan salah
seorang mereka lapar, maka mereka akan membagi makanan di antara mereka."
Kemudian Muhammad
bin Abdillah kembali ke Mekah saat usianya lima tahun. Beliau hidup beberapa
hari bersama ibunya di mana si ibu merasakan kesedihan yang dalam atas
kepergian ayahnya. Sesuai janji untuk mengingat ayahnya yang telah pergi,
Aminah menetapkan untuk mengunjungi kuburannya di Yatsrib. Jarak antara Mekah
dan Yatsrib lebih dari lima ratus kilo meter di gurun yang kering yang jauh
dari tanda-tanda kehidupan. Anak itu menempuh peijalanan yang berat. Setelah
perjalanan yang berat ini, Muhammad bin Abdillah tinggal di tempat paman-paman
dari ibunya di Madinah selama satu bulan. Muhammad melihat rumah yang di situ
ayahnya meninggal sebelum ia dilahirkan. Ia berziarah bersama ibunya ke kuburan
yang sederhana yang ayahnya dikuburkan di dalamnya. Mula-mula pikirannya
terfokus pada keadaan yatim sambil ia mulai memperhatikan linangan air mata
ibunya yang diam.
Selesailah masa
satu bulan keberadaannya di sisi paman-pamannya. Kemudian ibunya menemaninya
untuk kembali ke Mekah. Kedua anak manusia itu sampai di pertengahan jalan.
Muhammad bin Abdillah tidak mengetahui rahasia kepucatan wajah ibunya. Lalu malaikatul maut turun di suatu tempat
yang yang bernama Abwa. Di situlah Aminah binti Wahab telah bertemu dengan
kekasihnya, Allah SWT.
Sang ibu meninggal
dan meninggalkan anak satu-satunya bersama seorang pembantu. Pembantu itu
menampakkan rasa kasihnya terhadap anak kecil yang kehilangan ayahnya saat
masih janin dan kehilangan ibunya saat berusia enam tahun. Muhammad bin
Abdillah kini menjadi sendiri dan ia dalam keadaan menangis. Ia mencapai
kematangan setelah ia melewati kesedihan kehidupan dan kerasnya kehidupan
sebagai anak yatim.
Rasulullah saw
pernah ditanya setelah masa diutusnya: "Bagaimana pandanganmu?" Beliau
menjawab: "Pengetahuan adalah modalku. Akal adalah dasar agamaku. Cinta
adalah pondasiku. Zikrullah adalah kesenanganku. Dan kesedihan adalah
temanku."
Allah SWT telah
menyiramkan kepadanya sungai-sungai kesedihan sehingga beliau dapat memberikan
kepada manusia buah dari kegembiraan dan ketulusan.
Anak kecil itu
kembali ke Mekah dalam keadaan sedih dan ia tampak terpaku. Lalu Abdul
Muthalib, kakeknya menampakkan cinta yang luar biasa dan penghormatan padanya. Setelah
dua tahun ketika Muhammad bin Abdillah berusia delapan tahun, maka meninggallah
salah satu benteng yang terbaik yang menjaganya, yaitu kakeknya Abdul Muthalib.
Kemudian anak kecil itu kini merenungi kakeknya laksana orang dewasa. Ia tampak
tegar seperti layaknya orang dewasa.
Kita tidak
mengetahui mengapa terjadi demikian. Mengapa hikmah Allah SWT mencegah Nabi
yang terakhir untuk mendapatkan kasih sayang seorang ayah, kasih sayang seorang
ibu, dan bimbingan seorang kakek? Apakah Allah SWT ingin memberi Nabi yang
terakhir suatu kasih sayang dan cinta yang semata-mata bersumber dari sisi-Nya?
Apakah Allah SWT ingin mendidiknya dengan kesedihan dan memberinya
perasaan-perasaan yang penuh dengan penderitaan? Apakah Allah SWT ingin membuat
hati Rasul-Nya hanya tertuju kepadanya? Dahulu Allah SWT berkata kepada Musa:
"Dan Aku
telah memilihmu untuk diri-Ku." (QS. Thaha: 41)
Dahulu Allah SWT
memberi kabar gembira kepada Musa di dalam Taurat sebagaimana Isa memberi kabar
gembira di dalam Injil dengan kedatangan seorang Nabi setelahnya yang bernama
Ahmad. Dan Nabi Musa meminta kepada Tuhannya agar memberinya dan memberi
umatnya puncak keutamaan, lalu Allah SWT menjawab bahwa Dia telah menetapkan
keutamaan ini kepada Nabi yang terakhir Ahmad dan umatnya.
Allah SWT telah
memilih Musa untuk diri-Nya. Meskipun Demikian, Dia tidak mencegahnya untuk
mendapatkan kasih sayang seorang ibu dan mendidiknya di tengah-tengah
keluarganya. Namun Dia berkehendak untuk menjadikan Nabi yang terakhir tercegah
dari mendapatkan kasih sayang seorang manusia dan cinta seorang manusia,
sehingga Nabi tersebut hanya mendapatkan kasih sayang Ilahi dan cinta Ilahi.
Allah SWT
berfirman menceritakan tentang keadaan Rasul terakhir:
"Bukankah
Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang
bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang
kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. Adapun terhadap anak yatim, maka
janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang meminta-minta,
maka janganlah kamu menghardiknya. Dan terhadap nikmat Tuhanmu maha hendaklah
kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur). " (QS. ad-Dhuha: 6-11)
Makna ayat
tersebut secara harfiah adalah bahwa beliau dalam keadaan yatim lalu Allah SWT
melindunginya; beliau dalam keadaan tersesat lalu Allah SWT memberinya petunjuk;
beliau dalam keadaan fakir lalu Allah SWT memampukannya. Allah SWT
melindunginya dengan mengasuhnya, membimbingnya, dan mencukupinya. Itu adalah
derajat keutamaan yang tidak pernah dicapai oleh seseorang pun di dunia.
Setelah kematian
kakeknya, maka pamannya Abu Thalib mengasuhnya. Allah SWT telah meletakkan
kecintaan pada hati pamannya, sehingga pamannya mengutamakan Muhammad saw
daripada anak-anaknya dan memuliakannya serta menghormatinya, bahkan Abu Thalib
mendudukkannya di ranjangnya yang biasa dibentangkannya di hadapan Ka'bah di
mana tidak ada seorang pun yang duduk selainnya.
Muhammad bin
Abdillah hidup di jantung gurun Mekah sebagai seorang yang memiliki kesadaran
yang tinggi di antara kaum yang sedang lalai dan kaum yang mabuk-mabukan dan para
penyembah berhala serta para pedagang minuman keras dan para syair dan
orang-orang yang berperang dan tokoh-tokoh kabilah.
Muhammad bin
Abdillah seorang yang banyak diam dan ketika usianya semakin dewasa, maka ia
bertambah banyak diam. Beliau tidak berbicara kecuali jika diajak seseorang
berbicara; beliau tidak terlibat dalam permainan hura-hura anak-anak muda;
beliau merasakan kesedihan yang dalam; beliau sering menyendiri dan membuka
matanya di hamparan pasir-pasir. Mulutnya terdiam dan akalnya berpikir. Beliau
merenungkan di masa kecilnya bagaimana kaumnya bersujud terhadap berhala dan
terpukau dengannya; bagaimana orang-orang berakal mau bersujud kepada batu-batu
yang tidak memberikan mudharat dan manfaat dan tidak berbicara serta tidak
dapat melakukan apa-apa. Beliau mewarisi dari kekeknya Ibrahim kebencian yang
fitri terhadap dunia berhala dan patung.
Di dalam dirinya
terdapat penghinaan yang besar terhadap sembahan-sembahan dari batu ini, suatu
penghinaan yang menjadikannya tidak mau mendekat selama-lamanya terhadap patung
tersebut. Namun hatinya yang besar dipenuhi dengan kesedihan yang lebih hebat
dari kesedihan kakeknya Ibrahim. Beliau sedih karena akal manusia menyembah
batu dan emas, kesombongan serta kekuasaan penguasa; beliau mendengar apa yang
dikatakan manusia dan mengamat-amati urusan kehidupan dan keadaan masyarakat;
beliau juga menyaksikan betapa banyak pertentangan dan perkelahian di antara
manusia yang justru disebabkan oleh masalah-masalah yang sepele, sehingga
keheranan beliau semakin bertambah dan sudah barang tentu kesedihannya pun
semakin dalam. Tidakkah manusia mengetahui bahwa mereka akan mati seperti
ayahnya, ibunya, dan kakeknya? Mengapa mereka menimbulkan pertentangan ini,
hingga mereka mendapatkan lebih banyak kejahatan?
Ketika usianya
semakin bertambah, maka bertambahlah kezuhudannya dalam hidup, dan sepak
terjangnya terus bersinar memenuhi penjuru Mekah. Beliau tidak sama dengan
seseorang pun dari kalangan pemuda saat itu. Meskipun kami kira bahwa
kesedihannya disebabkan oleh hal-hal yang umum, tetapi beliau tidak
mengungkapkan kegelisahan hatinya pada seseorang pun. Beliau belum bertujuan
untuk memperbaiki masyarakat atau kemanusiaan. Benar bahwa
pertanyaan-pertanyaan kritis timbul dalam benaknya dan ingin segera menemukan
jawaban, tetapi akalnya sendiri tidak dapat menemukan jawaban atau jalan
keluar. Inilah yang dimaksud dengan makna ayat:
"Dan Dia
mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk." (QS.
adh-Dhuha: 7)
Yang dimaksud
ad-Dhalal (kesesatan) di sini ialah kebingungan akal dalam menafsirkan
kejahatan dan usaha melawannya karena ketiadaan senjata dan kecilnya usia. Semua
itu justru menambah sikap diam anak kecil itu dan menjauhkannya dari dunia yang
akan mencemari akal, sehingga akalnya selamat dari segala noda dan tetap di
bawah naungan kejernihannya.
Anak kecil itu
tetap jauh dari dosa-dosa yang dilakukan oleh kaumnya yang berupa kecenderungan
untuk menyembah berhala dan cinta kekuasaan dan kebanggaan. Ia selalu mendekat
dan lebih mendekat kepada hakikatnya yang suci; ia mampu mempengaruhi orang
lain dengan jiwanya yang bersih dan rahmatnya atau kasih sayangnya tertuju
kepada manusia, bahkan kepada binatang dan burung. Ketika ia duduk akan makan
lalu ada burung merpati berkeliling di seputar makanannya rnaka ia meninggalkan
makanannya untuk burung itu. Pada saat orang-orang memukul anjing yang mendekat
kepada makanan mereka, maka ia justru mencabut suapan yang ada di mulutnya dan
memberikannya pada anjing, kucing, anak-anak kecil, dan orang-orang fakir. Bahkan
seringkali di waktu malam ia tidur dalam keadaan lapar karena ia memberikan
makanannya ke orang lain.
Muhammad saw
adalah seorang fakir yang harus bekerja agar dapat makan, maka beliau bekerja
sebagai pengembala kambing, seperti Nabi Daud, Nabi Musa, dan nabi-nabi yang
lain yang diutus oleh Allah SWT. Kemudian beliau melakukan perjalanan bersama
kafilah pamannya Abu Thalib menuju Syam saat beliau berusia tiga belas tahun. Beliau
menyaksikan keadaan umat-umat yang lain, maka keheranannya semakin bertambah
terhadap masa jahiliyah ini. Ketika beliau menyaksikan orang-orang tersesat,
maka kesedihannya semakin bertambah dan hatinya semakin tersentuh dan
pikirannya semakin dalam.
Pada saat
perjalanan menuju ke Syam ini terjadi suatu peristiwa terhadap anak kecil itu. Kemungkinan
besar itu justru menambah kebingungannya. Seorang pendeta yang bernama Buhaira
berdiri di jendela rumah yang menjadi tempat peribadatannya di Suria. Tiba-tiba
ia memperhatikan suatu awan putih—tidak seperti biasanya—yang menghiasai langit
yang biru. Saat itu udara sangat terang, sehingga munculnya awan tersebut
sangat mengherankan. Kemudian pandangan Buhaira yang tertuju ke langit, kini
tertuju ke bumi di mana ia mendapati awan itu menyerupai burung yang putih yang
menaungi kafilah kecil yang menuju ke arah utara. Buhaira memperhatikan bahwa
awan tersebut mengikuti kafilah.
Jantung Buhaira berdebar
dengan keras karena ia mengetahui melalui buku-buku peninggalan kaum Masehi
yang otentik bahwa seorang nabi akan muncul ke dunia setelah Isa. Sifat dan
kabar nabi tersebut diceritakan dalam buku-buku kuno. Buhaira segera
meninggalkan tempatnya, lalu ia segera memerintahkan untuk menyiapkan makanan
yang besar. Kemudian ia mengutus seseorang untuk menemui kafilah tersebut dan
mengundang mereka untuk jamuan makan. Salah seorang mereka berkata dengan nada
bercanda kepada Buhaira: "Demi Lata dan 'Uzza, engkau hari ini tampak lain
wahai Buhaira. Engkau tidak pernah melakukan demikian kepada kami, padahal kami
telah melewati dan singgah di tempat ini lebih dari sekali. Ada peristiwa apa
gerangan wahai Buhaira?"
Buhaira menjawab:
"Hari ini kalian adalah tamu-tamuku." Pertanyaan orang tersebut tidak
dijawab dengan terang-terangan. Ia sengaja menghindarinya dan tidak
menyingkapkan rahasia kemuliaan yang datangnya tiba-tiba ini. Buhaira memberi
makan mereka dan mulai memperhatikan di antara mereka adanya seseorang yang
memiliki tanda-tanda yang dibacanya dalam kitab-kitabnya yang kuno tentang
seorang rasul yang ditunggu. Namun ia tidak menemukannya, hingga ia bertanya
kepada mereka: "Wahai kaum Quraisy, apakah ada seseorang yang tidak hadir
bersama jamuanku ini?" Mereka menjawab: "Benar, ada seseorang yang
tidak ikut bersama kami. Kami meninggalkannya karena ia masih kecil."
Buhaira berkata: "Sungguh aku telah mengundang kamu semua. Panggilah ia
supaya hadir bersama kami dan memakan makanan ini." Salah seorang lelaki
dari kaum Quraisy berkata: "Demi Lata dan 'Uzza, sungguh tercela bagi kami
untuk meninggalkan Muhammad bin Abdillah bin Abdul Muthalib dari jamuan yang
kami diundang di dalamnya.
Pamannya meminta
maaf karena Muhammad masih kecil, kemudian sebagian mereka berdiri dan
menghadirkannya. Belum lama Buhaira memandangi kejernihan dua mata Muhammad,
sehingga ia mengetahui bahwa ia telah mendekati tujuannya. Buhairah terpaku
ketika memandangi Muhammad bin Abdillah sehingga kaum selesai makan dan mereka
berpisah.
Muhammad bin
Abdillah duduk sendirian. Buhaira menghampirinya dan berkata: "Wahai anak
kecil, demi kedudukan Lata dan 'Uzza, sudikah kiranya engkau memberitahu aku
terhadap apa yang aku tanyakan kepadamu?" Buhaira ingin mengetahui sikap
anak ini terhadap berhala kaumnya. Anak kecil itu menjawab: "Jangan engkau
bertanya kepadaku tentang Lata dan 'Uzza. Demi Allah, tidak ada sesuatu yang
lebih aku benci daripada keduanya." Buhaira berkata: "Dengan izin
Allah aku ingin bertanya kepadamu." Anak kecil itu menjawab:
"Tanyalah apa saja yang terlintas di benakmu."
Buhaira bertanya
kepada anak kecil itu tentang keluarganya, kedudukannya di tengah-tengah
kaumnya, mimpinya dan pendapat-pendapatnya. Dialog tersebut terjadi jauh dari
pantauan kaum karena mereka tidak akan diam ketika mendengar bahwa Muhammad
membenci berhala-berhala mereka. Kemudian Muhammad menjawab
pertanyaan-pertanyaan Buhaira dengan yakin, hingga membuat Buhaira mantap bahwa
ia sekarang duduk bersama seorang Nabi yang kabar berita gembiranya disampaikan
oleh Nabi Isa sebagaimana disampaikan oleh nabi-nabi dari kaum Israil dari kaum
Nabi Musa. Setelah itu, ia bangkit meninggalkan anak kecil itu dan menuju ke
Abu Thalib ia bertanya tentang kedudukan anak kecil itu di sisinya. Abu Thalib
menjawab: "Ia adalah anakku." Buhaira berkata: "Tidak mungkin
ayahnya masih hidup." Abu Thalib berkata: "Benar. Ia anak saudaraku.
Ayahnya dan ibunya telah meninggal." Buhaira berkata: "Engakau benar,
kembalilah kamu ke negerimu dan hati-hatilah dari kaum Yahudi." Abu Thalib
bertanya tentang rahasia dari apa yang dikatakan oleh pendeta itu. Pendeta itu
mulai mengetahui bahwa ia telah berbicara lebih dari yang semestinya. Lalu ia
berkata: "Ia akan memiliki kedudukan tertentu." Buhaira tidak
menjelaskan lebih dari itu dan ia tidak menentukan kedudukan yang dimaksud.
Lalu berlalulah
peristiwa tersebut tanpa terlintas dari benak seseorang atau tanpa menggugah
kesadaran di antara mereka. Kisah tersebut tidak membawa pengaruh berarti bagi
kafilah atau kepada Nabi sendiri. Kafilah menganggap bahwa penghormatan pendeta
kepada Muhammad bin Abdillah dan memberitahunya akan kedudukan yang akan
disandangnya adalah semata-mata basa-basi yang biasa diucapkan di atas meja
makan ketika para tamu memuji kedermawanan tuan rumah. Dan sebagai balasannya,
orang yang mengundang akan memuji akhlak para pemuda mereka. Alhasil, peristiwa
tersebut tidak membawa pengaruh apa pun, baik bagi Muhammad maupun bagi
sahabat-sahabat yang ikut dalam kafilah, sehingga mereka tidak mengetahui
rahasia perkataan pendeta dan mereka tidak menyebarkan pembicaraan yang mereka
dengar darinya. Peristiwa itu tersembunyi meskipun ia sungguh sangat
membingungkan Muhammad.
Apa gerangan yang
terjadi antara dirinya dan orang-orang Yahudi, sehingga pendeta perlu
mengingatkan pamannya dari ancaman mereka? Apa kedudukan yang akan diembannya
seperti yang diceritakan oleh pendeta itu? Dan apa hubungan semua ini dengan
kesedihan-kesedihannya yang dalam serta kebingungannya? Pertanyaan-pertanyaan
tersebut sedikit demi sedikit berputar di benaknya. Kemudian seperti biasanya
kafilah tersebut kembali ke Mekah. Muhammad kembali menuju keterasingannya. Ia
memperhatikan keadaan alam di sekitarnya. Kemudian ia melihat kembali
penderitaannya; ia berusaha untuk mendapatkan kehidupannya; ia mengabdi kepada
manusia dan mengorbankan apa saja demi kemuliaan mereka.
Hari demi hari
berlalu. Muhammad saw tampil dengan pakaian ketulusan kasih sayang, dan amanah
serat cinta, sebagaimana pelita dipenuhi oleh cahaya, sehingga kejujurannya
terkenal di tengah-tengah kaumnya. Bahkan kejujuran dan amanatnya tidak bakal
diragukan oleh seseorang pun dari penduduk Mekah. Dan ketika beliau datang
dengan membawa risalahnya dan beliau ditentang mayoritas masyarakatnya, namun
tak seorang pun yang berani meragukan kejujurannya. Mereka hanya menuduh bahwa
ia terkena sihir atau kesadarannya telah hilang.
Pada tahun ketiga
belas dari masa kenabian, ketika semua kabilah sepakat untuk membunuhnya dan
mengucurkan darahnya di antara para kabilah dan mereka mengepung rumahnya, maka
di saat situasi yang sulit ini beliau menetapkan untuk berhijrah. Tetapi
sebelumnya beliau mewasiatkan kepada Ali bin Abi Thalib, anak pamannya untuk
tetap tinggal di rumahnya agar ia dapat mengembalikan amanat yang dititipkan
oleh semua musuhnya dan para sahabatnya. Ini beliau maksudkan agar Ali dapat
menyerahkan amanat tersebut di waktu pagi kepada para pemiliknya. Anda dapat
melihat betapa para musuhnya merasa aman terhadap harta mereka ketika dijaga
oleh Muhammad saw.
Hari demi hari
berlalu dan tahun demi tahun pun lewat. Sementara itu, kesucian dan
kejujuran Muhammad saw semakin meningkat. Dan di tengah lautan keheningan yang
mencekam, ketika Muhammad bin Abdillah menyebarkan layar perahunya yang putih,
maka ia harus menemui hakikat azali yang bertemu dengan-nya semua nabi dan
rasul. Muhammad bin Abdillah mengetahui bahwa alam yang besar ini mempunyai
Tuhan Pengatur dan Pencipta; Tuhan yang Maha Satu dan yang tiada tuhan
selain-Nya.
Muhammad dijauhkan dari suasana kenikmatan dan foya-foya
yang biasa dilakukan oleh para pemuda seusianya. Dan ketika pemuda Mekah berbangga-bangga
dengan banyaknya minuman keras yang mereka minum dan banyaknya bait-bait syair
yang mereka katakan tentang wanita, maka Muhammad bin Abdillah telah menemukan
jati dirinya di suatu gua yang tenang di gunung yang besar. Ia memilih untuk
menghabiskan waktunya di dalam keheningan gua tersebut. Ia merenung dengan
hatinya tentang keadaan alam; ia memikirkan keagungan rahasia-rahasianya dan
rahmat Penciptanya serta kebesaran-Nya.
Pada tahun yang kedua puluh lima, beliau mengenal Ummul
Mu'minin, isterinya yang pertama, yaitu Khadijah binti Khuwailid yang saat itu
berusia empat puluh tahun. Khadijah adalah wanita yang mulia dan mempunyai
cukup harta. Ia berdagang dan suaminya telah meninggal. Banyak orang yang
mendekatinya dengan alasan untuk mendapatkan kekayaannya. Khadijah mencari
seseorang laki-laki yang dapat membawa harta dagangannya menuju Syam, lalu
Khadijah mendengar berita yang cukup banyak berkenaan dengan kejujuran dan
amanat serta kesucian Muhammad bin Abdilah. Akhirnya, Khadijah mengutus Muhammad
saw untuk membawa barang dagangannya. Muhammad saw pergi dalam perjalanannya
yang kedua ke Syam saat beliau berusia dua puluh lima tahun. Allah SWT memberkati perjalannya
di mana beliau kembali dengan membawa keuntungan yang berlipat ganda yang
diserahkannya kepada Khadijah. Muhammad saw tidak peduli dengan harta Khadijah
dan tidak peduli kepada kecantikannya; Muhammad saw hanya memandang kemuliaan
yang dipegangnya. Kemudian Khadijah merasakan getaran cinta terhadap Muhammad
saw. Dan Akhirnya, ia mengutarakan keinginan untuk menikah dengannya, hingga
Muhammad saw pun setuju.
Paman Muhammad saw, Abu Thalib berdiri dan menyampaikan
khotbah pada saat perayaan perkawinannya: Muhammad saw tidak dapat dibandingkan
dengan seorang pun dari kaum Quraisy karena ia adalah seorang yang mulia, baik
dari sisi akal maupun ruhani. Meskipun ia seorang yang fakir namun harta adalah
naungan yang akan hilang dan benda yang bersifat sementara.
Setelah menikah, Muhammad saw justru mendapatkan kesempatan
yang lebih besar untuk merenung dan menyendiri serta beribadah. Kemudian
kehidupan yang dijalaninya justru meningkatkan kemuliaannya, sehingga
keutamaannya tersebar di sana
sini. Beliau tidak pernah terlibat dalam pergulatan yang keras untuk
memperebutkan materi-materi dunia. Beliau selalu menggunakan akal sehatnya
daripada terlibat dalam kesesatan mereka dan kegelapan berhala yang menyelimuti
banyak orang pada saat itu. Kemudian usianya kini mendekati empat puluh tahun.
Setelah merasakan kesunyian di tengah-tengah masyarakat, beliau
lebih memilih untuk menjauh dari mereka. Beliau mencari-cari hakikat, sehingga
Allah SWT membimbingnya untuk menyendiri di gua Hira. Akhirnya, beliau dapat
keluar dari Mekah. Beliau berjalan beberapa mil. Kemudian beliau mulai mendaki
dan mendaki. Setiap kali ia mendaki gunung, maka tempat itu semakin luas. Udara
tampak lembut dan tersingkaplah hijab, dan pandangan semakin terbentang.
Kemudian beliau memasuki gua. Keheningan menyelimuti segala sesuatu, namun hati
tetap sadar dan tidak ada sesuatu yang dapat menghalang-halangi pandangan
internal yang dalam. Dalam suasana kesunyian terkadang lahirlah
pemikiran-pemikiran yang cemerlang yang kemudian menyebarkan sayap-sayapnya dan
membumbung, pertama-tama di atas angkasa gua lalu tersebar menuju ke tempat yang
lebih luas. Tidak ada sesuatu pun yang membatasinya atau mengekang
kebebasannya.
Kita tidak mengetahui pikiran-pikiran apa yang terlintas
pada manusia termulia dan terbesar di atas bumi itu saat beliau duduk di gua
Hira beberapa bulan. Apa yang beliau pikirkan dan apa gerangan yang beliau
risaukan? Mimpi apa yang ada di benaknya dan perasaan-perasaan apa yang lahir
dalam hatinya? Bagaimana keadaan batu-batu yang ada di sisinya? Apakah
atom-atom batu yang berputar di sekelilingnya menyahuti tasbihnya yang diam,
seperti atom-atom batu yang bersahut-sahutan bersama Daud saat ia membaca
kitabnya Zabur.
Kami tidak mengetahui secara pasti bentuk kelahiran yang
terjadi dalam dirinya. Yang kita ketahui adalah bahwa beliau tidak berpikir
tentang kenabian dan beliau tidak berpikir untuk memberikan petunjuk kepada
manusia; beliau tidak melakukan praktek-praktek sufisme karena beliau sudah
menjadi seorang sufi sebelum diutus di tengah-tengah manusia. Kemudian Allah
SWT memilihnya sebagai Nabi lalu beliau meninggalkan uzlahnya dan turun ke medan serta membawa
senjata. Beliau mempertahankan kebenaran, sehingga beliau bertemu dengan
Tuhannya. Mula-mula lahirlah tasawuf dan setelahnya lahirlah jihad di jalan
Allah SWT. Tasawuf bukanlah puncak atau hasil sebagaimana diyakini oleh manusia
sekarang, tetapi ia adalah permulaan jalan yang panjang di mana pada akhirnya
yang bersangkutan menggunakan senjata sebagai bentuk usaha untuk membela
manusia dan kehormatannya.
Pada suatu hari beliau duduk di gua Hira dan tiba-tiba
beliau dikagetkan dengan kedatangan Jibril yang berdiri di depan pintu gua.
Malaikat tersebut memeluknya erat-erat lalu memerintahkannya untuk membaca
sambil berkata: "Bacalah!" Muhammad bin Abdillah menjawab: "Aku
tidak mampu membaca." Beliau ingin mengatakan bahwa beliau tidak mengenal
bacaan dan tulisan. Kalau begitu, apa yang harus beliau baca? Malaikat kembali
memeluknya dengan kuat sehingga Rasulullah saw menganggap bahwa ia meninggal.
Kemudian malaikat melepasnya dan memerintahkannya untuk membaca. Beliau kembali
menjawab: "Aku tidak bisa membaca." Malaikat yang mulia kembali
memeluknya dan kembali memerintahkan untuk membaca. Dan lagi-lagi Rasulullah
saw menjawab dengan gemetar: "Apa yang aku baca?" Kemudian Jibril
membaca permulaan ayat-ayat yang turun kepada beliau:
"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang
menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan
Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan
kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya." (QS.
al-'Alaq: 1-5)
Setelah peristiwa itu, Jibril menghilang secara tiba-tiba
sebagaimana ia muncul secara tiba-tiba. Rasulullah saw merasakan dalam dirinya
kejadian yang luar biasa yang pernah dirasakan oleh Nabi Musa saat beliau mendengar
panggilan-panggilan suci di lembah Thuwa. Sebagaimana Nabi Musa lari ketakutan,
maka Muhammad bin Abdillah pun segera menuju ke rumahnya dalam keadaan
ketakutan. Ia turun ke gunung dan
kembali ke rumahnya dan kembali ke isterinya. Tubuhnya yang mulia bergetar
denga keras dan beliau merasakan ketakutan dan kegelisahan.
Apakah beliau
kali ini berhubungan dengan jin atau alam perdukunan? Apakah beliau telah
mengigau sehingga beliau mendengar suara-suara dan melihat wajah-wajah yang
belum pernah dilihatnya? Rasulullah saw mengkhawatirkan dirinya karena beliau
sangat benci kepada perdukunan. Beliau memasuki rumahnya dengan keadaan
gemetar. Beliau berkata kepada isterinya: "Selimutilah aku, selimutilah
aku!" Kemudian isterinya segera menyelimuti dengan selimut dari wol dan
mengusap keringat yang berada di keningnya. Isterinya dikagetkan dengan
kepucatan wajah beliau yang mulia dan kegemetaran tubuhnya.
Khadijah bertanya
kepadanya: "Apa yang sedang terjadi?" Kemudian Muhammad saw
menceritakan secara detail apa yang dialaminya. Kemudian ia berkata:
"Sungguh aku khawatir terhadap diriku." Khadijah mengetahui bahwa ia
sekarang berhadapan dengan masalah yang serius, suatu berita gembira yang ia
tidak mengetahui hakikatnya, suatu berita gembira yang seharusnya tidak dihadapi
Muhammad saw dengan kekhawatirkan dan kegelisahan.
Khadijah berkata dengan maksud untuk meredakan ketakutannya:
"Tenanglah. Demi Allah, Allah SWT tidak akan menghinakanmu selama-lamanya.
Sungguh engkau adalah seorang yang baik, yang menyambung tali silaturahmi, yang
berbicara dengan jujur, dan yang menghormati tamu."
Meskipun kalimat-kalimat tersebut penuh dengan kedamaian dan
kesejukan, tetapi kegelisahan Rasul saw juga belum hilang. Kemudian Khadijah
pergi bcrsama beliau ke rumah Waraqah bin Nofel, yaitu anak dari paman
Khadijah. Waraqah adalah seorang Nasrani dan dia mampu menulis kitab dalam
bahasa Ibrani dan ia cukup mengetahui kitab-kitab Taurat dan Injil di mana
matanya telah buta karena masa tua.
Khadijah berkata kepadanya: "Wahai putra pamanku,
dengarlah dari anak saudaramu." Waraqah berkata: "Wahai anak
saudaraku, apa yang engkau lihat?" Rasulullah saw menceritakan apa yang
dialaminya secara sempurna. Waraqah berkata sambil mengangkat kepalanya yang
tampak keheranan: "Itu adalah Namus (Jibril) yang Allah SWT turunkan
kepada Musa." Sebagai seorang yang mengerti, Waraqah bin Nofel mengetahui
bahwa ia berada di hadapan seorang Nabi yang berita gembiranya disampaikan oleh
Taurat dan Injil.
Setelah keheningan sesaat, Waraqah berkata: "Seandainya
aku masih hidup ketika kaummu mengeluarkanmu dan mengusirmu." Rasulullah
saw bertanya: "Mengapa aku harus diusir oleh mereka?'' Waraqah menjawab:
"Benar, tidak ada seorang pun yang akan datang seperti dirimu kecuali
engkau akan mengalami penderitaan dan pengusiran. Seandainya aku hadir di saat
itu niscaya aku akan menolongmu."
Demikianlah, akhirnya Islam pun dikembangkan. Kehendak Allah
SWT terlaksana dan Allah SWT telah memilih Nabi yang terakhir di muka bumi dan
orang Muslim yang pertama. Barangkali pembaca akan bertanya: Apa hakikat dari
Islam? Apabila Muhammad saw sebagai Nabi yang terakhir yang diutus oleh Allah
SWT di muka bumi dan kita mengetahui bahwa para nabi semuanya sebagai Muslim,
maka bagaimana beliau dapat dikatakan mendahului mereka dalam keislaman dan
menjadi orang Muslim yang pertama?
Islam yang dibawa oleh Muhammad saw tidak berbeda dalam
esensinya dengan Islam yang dibawa oleh Nabi Nuh, Nabi Musa, Nabi Isa atau nabi
yang lain, tetapi yang berbeda adalah bentuknya, sedangkan esensinya tetap
seperti semula, yakni berdasarkan tauhid. Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad
saw berbeda dalam bentuknya dengan Islam yang dibawa nabi-nabi sebelumnya
karena sebab yang penting, yakni bahwa Islam ini merupakan ajaran yang
universal dan berisi aspek kemanusiaan yang abadi. Islam tidak terbatas atas
orang-orang Arab tetapi ia berlaku atas semua golongan. Islam yang dibawa oleh
Nabi Muhammad saw tidak terbatas untuk kabilah tertentu atau bangsa tertentu
atau bumi tertentu atau lingkungan tertentu atau zaman tertentu, tetapi ia
untuk semua manusia. Atau dengan kata lain, ia merupakan ajakan untuk
membangkitkan akal manusia di mana saja mereka berada tanpa ada batasan tempat
atau waktu.
Universalitas ajaran Islam tidak dikenal pada
risalah-risalah Ilahi sebelumnya di mana setiap risalah itu diperuntukkan bagi
bangsa tertentu dan zaman tertentu. Oleh karena itu, mukjizat-mukjizat yang
mengagumkan yang bersifat temporal seringkali mendukung risalah-risalah yang
dahulu. Ketika Islam datang sebagai bentuk ajakan untuk menghidupkan akal
manusia secara bebas, maka di sana
tidak ada alasan untuk membawa mukjizat yang mengagum-kan. Hanya ada satu kata
yang dapat dijadikan pembuka untuk berdakwah dan membuka akal manusia, yaitu
kata "iqra"' (bacalah). Dan hendaklah bacaan ini berdasarkan nama
Allah SWT. Dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia menciptakan manusia dari
segumpal darah. Coba Anda renungkan permulaan pertumbuhan dan puncak
pencapaian. Di sini tersembunyi mukjizat yang hakiki jika Anda berusaha mencari
mukjizat yang hakiki.
Bacalah, dan Tuhanmu Yang Maha Mulia, yang memberikan nikmat
penciptaan dan rezeki serta rahmat dan kelembutan. Dia Maha Mulia yang
mengajarkan manusia apa saja yang tidak diketahuinya. Demikianlah esensi dari
Islam, yaitu ajakan untuk membaca. Ia adalah dakwah yang menunjukkan kedudukan
ilmu. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara
hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orangyang berilmu (ulama)." (QS. Fathir:
28)
Takut kepada Allah SWT tidak akan muncul kecuali berdasarkan
ilmu. Mustahil kebodohan dengan
bentuk apa pun akan melahirkan rasa takut. Oleh karena itu, dalam pandangan
Islam ilmu adalah hal yang pokok. Ia bukan kemewahan dan bukan hanya perhiasan.
Kaum Muslim telah mengalami masa kemuliaan dan kejayaan dan mereka berhasil
menguasai bumi ketika mereka memahami Islam secara benar, tetapi ketika
pemahaman ini jauh dari mereka, maka mereka kembali dalam keadaan yang paling
buruk, bahkan lebih buruk daripada masa jahiliah.
Jadi, ilmu dalam
Islam merupakan tujuan yang mulia dan utama dalam penciptaan alam wujud. Kisah
Nabi Adam dan Hawa, sebagaimana diceritakan oleh Al-Qur'an adalah bukan
semata-mata kisah kesalahan memakan pohon tcrlarang, tetapi ia juga kisah yang
memiliki dimensi-dimensi yang dalam dan aspek-aspek yang beraneka ragam. Ketika
Anda menyclami kedalamannya, maka Anda akan dapat menemukan simbol-simbol dari
makna-makna yang lebih penting.
Dialog internal
yang dialami oleh para malaikat tentang rahasia pemilihan Nabi Adam untuk
memakmurkan bumi dan menjadi khalifah di dalamnya serta pengajaran yang
diperoleh Nabi Adam tentang nama-nama semuanya dan bagaimana beliau
mengemukakan nama-nama tersebut kepada para malaikat, serta ketidaktahuan
mereka tentang nama-nama itu, kemudian usaha Nabi Adam untuk memberitahu mereka
tentang apa yang diketahuinya serta pengetahuan para malaikat tentang rahasia
pemilihan Nabi Adam dan para keturunannya untuk memakmurkan bumi, semua ini
menjadikan tujuan dari penciptaan manusia adalah pencapaian ilmu atau ma'rifah
secara umum. Pandangan tersebut dikuatkan oleh firman Allah SWT:
"Dan Ahu
tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-(Ku)." (QS.
adz-Dzariat: 56)
Lalu bagaimana
kita memahaminya saat ini dan bagaimana generasi yang pertama dari kaum Muslim
dan dari sahabat-sahabat Rasul saw dan para pengikutnya dan para tentaranya
memahaminya? Saat ini kita memahaminya dengan pemahamam yang sederhana. Kita
mengetahui bahwa kalimat "untuk menyembah-Ku " berarti ritualitas
dalam beribadah dan aspek-aspek lahiriahnya, seperti mengucapkan kalimat
syahadat, salat, puasa, haji, zakat dan lain-lain. Sehingga orang-orang yang
salat diperbolehkan untuk menyembah Allah SWT di negeri mereka atau di
rumah-rumah mereka, meskipun mereka hidup di bawah pemikiran orang-orang Barat
dan membeli produk-produk yang dibuat mereka serta memanfaatkan ilmu dan
kecanggihan tehnologi orang-orang Barat. Namun mereka sendiri tidak
menghasilkan apa-apa. Mereka tidak dapat memberikan kontribusi kepada
kehidupan; mereka tak ubah-nya seperti bulu yang dimainkan oleh ombak. Sedangkan
pemahaman yang dahulu berkaitan dengan kalimat tersebut sebagai berikut:
"Dan Aku
tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-(Ku). " (QS.
adz-Dzariat: 56)
Ibnu Abbas
membacanya: "Illa liya'rifuun." (Agar mereka mengetahui). Perhatikanlah
bagaimana pentingnya perbedaan antara praktek-praktek ibadah dengan
bentuk-bentuknya dan kedalamannya yang jauh dalam ma'rifah yang menyebabkan
rasa takut kepada Allah SWT. Orang Muslim yang pertama meyakini bahwa Allah SWT
menciptakannya agar ia mengetahui Allah SWT atau agar ia mengenal Allah SWT. Sehingga
ambisi orang Muslim yang pertama sangat mengagumkan. Mereka pergi untuk
membebaskan dunia semuanya: satu tangan berpegangan dengan Al-Qur'an dan tangan
yang lain memegang pedang untuk menghancurkan belenggu-belenggu yang menyeret
manusia kepada kesesatan.
Kemudian jatuhlah
dari Islam hakikat ilmu, sehingga umat Islam tidak dapat memimpin kehidupan dan
mereka justru men-dapatkan kehinaan. Allah SWT berfirman:
"Allah
menyatakan bahwasannya tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan.
Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu).
Tak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya
agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam." (QS. Ali 'Imran: 18)
Setelah kesaksian
kepada Allah swt dan kesaksian kepada malaikat, maka disebutlah secara langsung
kesaksian kepada orang-orang yang berilmu. Maka, adakah penghormatan terhadap
ilmu yang lebih besar daripada penghormatan ini? Ilmu dalam Islam berbeda
dengan ilmu dalam peradaban Barat. Memang benar bahwa Islam yang bertanggung
jawab terhadap tumbuhnya pandangan ilmiah dan metode eksperimental di mana
berdasarkan metode ini tegaklah peradaban Barat yang kemudian melahirkan
berbagai produksi, pembuatan, dan penemuan. Dan metode eksperimental adalah
metode al-Istiqra, yaitu suatu metode yang mengikuti bagian-bagian terkecil
(parsial) melalui jalan eksperimen yang dapat tunduk terhadap eksperimen dan
melalui jalan memperhatikan hal-hal yang tidak dapat tunduk terhadap suatu
eksperimen, atau melalui jalan matematis murni yang membutuhkan kepada
matematis murni di mana hal itu bertujuan untuk menyingkap hukum-hukum yang
menguasai benda. Sistem ini bidangnya adalah alam dan alatnya adalah panca
indera dan akal. Sistem ini dimanfaatkan oleh seorang Eropa yang bernama Roger
Bikun. Ia mengakui bahwa ia sangat berhutang kepada kaum Muslim dan peradaban
Islam.
Seorang guru yang
bernama Bruicll dalam bukunya Abna' al-Insaniah menceritakan tentang
dasar-dasar peradaban Barat di mana ia berkata: "Roger Bikun mempclajari
bahasa Arab dan ilmu-ilmu Arab di sekolah Oxford kepada guru-gurunya yang
berasal dari Arab di Andalus. Dan Roger Bikun dan Fenessis Bikun tidak dapat
menisbatan keutamaan yang mereka peroleh dalam menciptakan sistem eksperimental
kepada diri mereka sendiri. Roger Bikun hanya seorang duta dari duta-duta ilmu.
Oleh karena itu, ia tidak malu ketika menyatakan bahwa mempelajari bahasa Arab
dan ilmu-ilmu Arab adalah jalan satu-satunya untuk mengetahui kebenaran."
Demikianlah
pernyataan pakar-pakar Barat yang jujur. Yang demikian ini bisa dijadikan
sanggahan terhadap orang-orang Barat yang tidak jujur agar mereka mengetahui
bahwa mereka sebenarnya mengambil senjata yang sebenarnya berasal dari Islam. Dan
jika dikatakan bahwa rahasia kebangkitan Barat saat ini dan keunggulannya atas
Timur kembali kepada pengambilannya terhadap sebab-sebab metode eksperimental,
yaitu metode Islam, maka rahasia kehancuran Barat dan kebingungannya serta
kegelisahannya adalah karena mereka tidak menghubungkan metode tersebut dengan
kebesaran Allah SWT sebagaimana semestinya. Metode eksperimen-tal—sebagaimana
diambil orang-orang Barat—dimulai dari alam dan berakhir kepadanya sebagai
sesuatu tujuan. Jadi, ruang lingkup pembahasan mereka adalah berkisar kepada
materi, dan alat-alat pembahasan adalah eksperimen dan pengamatan serta
istiqra.
Tiada setelah
alam kecuali kematian dan kematian adalah rahasia yang misterius dan melawannya
adalah hal yang mustahil. Kita tidak mengetahui apa yang terjadi setelah
kematian; kita tidak mengetahui sesuatu pun tentang ruh. Tidak ada hubungan
antara ilmu dan akhlak; tidak ada jawaban dari ilmu tentang tujuan kehidupan
ini. Kita hanya mempelajari aspek-aspek lahiriah dan mencapai hukum-hukumnya
saja. Demikianlah pandangan Barat tentang ilmu di mana ia hanya sekadar alat
dan sarana untuk mengatur alam dan berusaha menguasainya. Sedangkan metode
ilmiah dalam Islam menyatakan bahwa gerakan atom dengan gerakan sistem tata
surya di bawah kendali Zat Yang Maha Tahu dan Zat Yang Maha Pencipta. Ilmu
dalam Islam justru membimbing manusia untuk menuju Allah SWT:
"Dan bahwasannya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala
sesua-tu). " (QS. an-Najm: 42)
Ilmu justru mengantarkan manusia untuk mencapai rasa takut
kepada Allah SWT sebagaimana membimbingnya beribadah kepadanya dan
mencintai-Nya:
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara
hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu (ulama)." (QS. Fathir:
28)
Islam datang dan mengajak manusia untuk membaca, mengetahui,
dan takut kepada Allah SWT serta hanya beribadah kepadanya. Jika ilmu merupakan
sayap pertama di dalam Islam, maka sayap yang kedua adalah kebebasan.
Rasulullah saw memberitahu dan menyatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah
SWT dan tidak ada sembahan selain Allah SWT.
Seruan ini mengisyaratkan keruntuhan tuhan-tuhan yang
mengusai bumi semuanya, baik tuhan yang berupa kepentingan-kepentingan pribadi,
kekayaan, raja, penguasa, pemikiran-pemikiran yang mengusai manusia, warisan
para kakek dan nenek, berhala-berhala yang terbuat dari batu dan kayu, maupun
berbagai macam tuhan lain yang bohong. Adalah salah jika seseorang membayangkan
bahwa kalimat "tiada Tuhan selain Allah" hanya sekadar hiasan mulut
seorang Muslim di mana segala sesuatu yang ada di sekitarnya penuh dengan
kebohongan dan tidak membenarkan apa yang dikatakannya. Kalimat tersebut dalam
Islam merupakan per-gulatan besar bersama kegelapan yang ada pada diri manusia,
suatu pergulatan yang berakhir pada penyerahan diri; pergulatan yang akan
berpindah pada kehidupan yang lebih berat, sehingga kehi-dupan akan berserah
diri. Dan mustahil pergulatan itu akan terjadi kecuali jika terpenuhi suatu
kebebasan: kebebasan akal untuk meragukan dan menolak dan kebebasan yang
berakhir kepada pencapaian batas-batasnya dan kemampuannya serta kebebasan yang
meninggi untuk mencapai keimanan yang dalam dan kokoh. Itu adalah tanggung
jawab yang berarti bahwa ia harus memikul senjata untuk membebaskan orang lain
sebagaimana ia membebaskan dirinya sendiri. Demikianlah esensi dari Islam,
yaitu ilmu yang berdiri di atas kebebasan dan tanggung jawab yang tumbuh dari
kebebasan, dan buah terAkhirnya adalah tauhid dalam kedalamannya yangjauh.
Jika tauhid dipahami secara benar, maka manusia akan
terbebas dari penyembahan selain Allah SWT: manusia akan bebas terhadap rasa
takut dari kematian, kekhawatiran atas rezeki, manusia akan terbebas dari sikap
bakhil dan ketakutan terhadap hari-hari yang akan datang.
Muhammad bin Abdillah datang nntuk menyerukan bahwa hanya
Allah SWT yang patut disembah dan bahwa semua manusia adalah hamba-hamba-Nya.
Dcngan membebaskan manusia dari menyembah sesama mereka, maka kebcbasan yang
hakiki telah dimulai. Rasulullah saw memberitahu bahwa kematian adalah
perpindahan dari satu rumah ke rumah yang lain. Ia bukan akhiran yang misteri
dari kehidupan yang tidak dapat dipahami, tetapi ia hanya sekadar perpindahan.
Takut kepada kematian tidak akan menyelamatkan dari kematian itu sendiri, dan
cinta kepada kehidupan tidak akan memanjangkan ajal. Pada setiap ajal ada
ketentuannya. Maka keberanian merupakan unsur dari unsur-unsur pembentukan
kepribadian Islam dan bagian dari bagian-bagian sel yang ada dalam tubuh
seorang Muslim.
Kisah Nabi Muhammad SAW ( bagian 1-bagian 2-bagian 3-bagian 4-bagian 5-bagian 6 )